Perdebatan Tentang Kematian

Esai

“Tentang kondisi pasien terkait bagaimana dia akan meninggal. Itu memang rahasia Tuhan. Tetapi, tenaga medis punya keahlian untuk menentukan apa yang terbaik untuk pasien.”

“Aku kalau membayangkan di rumah sakit kok ngeri. Harusnya ketika meninggal, kita bisa dikelilingi orang yang kita sayang. Tapi di sana, kita harus sendiri.” Seorang ibu-ibu tiba-tiba menuturkan hal tersebut kepada saya. Saya tidak paham mengapa dia bicara demikian. Masih tanda tanya.

“Kalau sampean meninggal, mau di rumah sakit atau di rumah saja?” sahut saya, mencoba mencari tahu lebih. 

“Di rumah saja, enak bisa ada yang menuntun,” jawab beliau tidak sekenanya. Harapan itu tampak jelas di kedua bola matanya. 

“Entah nanti dibacakan Yasin atau apa,” terusnya. 

Saya yang waktu itu hanya berjalan-jalan di sekitarnya, lekas mengambil langkah lebih lebar. Mencoba mengukir segala sebab kenapa ibu-ibu tersebut bicara demikian. 

Kalau memang mau dipikir ekstrem, seseorang yang meninggal di rumah sakit dan tidak bisa dijenguk, agaknya dekat dengan situasi yang ada di ICU. Pengawasan yang ketat tentang kesadaran, tanda vital, obat-obatan yang diberikan. Semua itu wajib adanya, para dokter dan perawat di sana juga mati-matian mengusahakan semua berjalan dengan semestinya. 

Dasar itu, tentu menjadi alasan mengapa keluarga tidak boleh menjenguk. Karena memang tidak boleh ada gangguan barang sedikitpun. Tempo cepat, situasi yang mudah berubah, dan keputusan-keputusan sulit yang diambil, tidak memungkinkan para tenaga medis untuk berurusan secara emosional dengan perasaan keluarga pasien. 

Mereka yang bekerja di sana berharap agar semua bantuan itu semoga lekas bisa memberikan perbaikan kepada yang dirawat. Kesadaran pasien yang meningkat tentu sudah menjadi prestasi gemilang untuk mereka. 

Tetapi, keluarga pasien mungkin melihatnya dari sudut yang berbeda. Seolah para tenaga kesehatan menjadi objek paling kejam yang membuat mereka harus patuh. Menyuruh dengan tegas semua anggota keluarga supaya bisa sedikit bersabar.

Ya, ruang ICU memang setegang itu. 

Pun, saya juga membayangkan bagaimana jika seseorang bisa meninggal di rumah. Mungkin benar kata ibu-ibu tadi. Dia mungkin bisa menikmati tuntunan keluarganya. Bisa menyebut nama Tuhan dengan bimbingan, mendapat kalimat-kalimat doa sebagai penenang. Kerabat pun bisa berdatangan untuk melihatnya terakhir kali, sambil mengenang semua perbuatan baik dan perjuangannya di masa lalu. 

Siapa yang tidak mau ada dalam situasi seperti itu?

Namun, yang namanya perdebatan, tentu saya akan memberikan argumen penyangkalan kepada pendapat ibu-ibu tersebut.

“Begini Bu, tentang kondisi pasien terkait bagaimana dia akan meninggal. Itu memang rahasia Tuhan. Tetapi, tenaga medis punya keahlian untuk menentukan apa yang terbaik untuk pasien.”

Saya lekas menjelaskan hal-hal yang kadang tidak dimengerti awam. Misalnya, ketika ada seseorang yang sesak parah, atau mengalami perdarahan dalam otak hebat yang sampai menurunkan kesadarannya. Hal-hal seperti itu kadang dianggap awam sebagai tanda akan datangnya kematian yang pasti, dan kadang keluarga hanya bisa pasrah. 

Namun di rumah sakit, pilihan lain masih tersedia selain menghadapi kematian. Misalnya, memberikan bantuan oksigen, memberikan tindakan cepat tepat untuk perdarahan dalam kepalanya. Tentu semua tindakan itu berdasar ilmu kedokteran yang dikaji bersama di seluruh dunia. Bukan hanya interpretasi subjektif yang kadang menyesatkan. 

Kadang, pertolongan sederhana dari tenaga medis, sangat bisa memberikan manfaat bagi pasien. Tidak perlu jauh, dua tahun ke belakang adalah contoh paling tepat bagaimana ketakutan telah menghalangi jalan seseorang untuk menang melawan Covid-19. Ketakutan-ketakutan karena isolasi dan fobia berlebih terhadap pasien yang kelak harus melawan kesendirian dan penyakitnya, telah banyak membuktikan bahwa tenaga medis memang ada untuk hal-hal seperti itu. 

Tapi, saya tidak seberani itu memberikan penyangkalan. Kata-kata yang Anda baca tadi hanya berputar di kepala saya. Mungkin saja, itu adalah anggapan terbaik yang dimilikinya saat ini. Mungkin saja dia telah lelah berpisah lama dengan anak dan saudara-saudaranya.

Setidaknya di momen kematiannya kelak, dia berharap bisa ditemani dan dituntun. 

Ah, rumit. Namanya juga perdebatan.

Prima Ardiansah, dokter yang suka menulis.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *