Singapura, Negara Multi Etnis Menepis Tuduhan Rasis

“Pemerintah Singapura tetap konsisten dengan sikap politik mereka sejak awal negara itu berdiri, bahwa pemerintah akan berlaku adil bagi semua etnis dan golongan.”

Kasus ditolak masuknya Ustadz Abdul Somad (UAS) oleh petugas imigrasi Singapura pada 16 Mei yang lalu menimbulkan pertanyaan tentang kehidupan toleransi di Singapura. Ada tuduhan bahwa Negeri Singa itu telah terjangkit Islamofobia dan berlaku rasis terhadap etnis Melayu yang merupakan minoritas di negeri itu.

Apakah memang benar tuduhan itu?

Pemerintah Singapura sendiri telah memberikan penjelasan tentang alasan penolakan. Mendagri Singapura, K. Shanmugam menyampaikan bahwa UAS sudah lama berada dalam radar pemantauan otoritas Singapura. Alasannya, UAS diklaim memengaruhi dan meradikalisasi sejumlah warga di negeri itu.

Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi menilai bahwa Singapura memang ketat dalam hal yang dianggap berpotensi mengundang polemik, baik bagi pendatang maupun penduduk lokal. Penolakan itu merupakan bagian dari kebijakan ketat Pemerintah Singapura. 

Sejarah Penyebab Sikap Ketat Singapura

Menilik tentang mengapa Pemerintah Singapura bersikap seketat itu tak lepas dari sejarah mereka di masa lalu. Berawal dari perpisahan Singapura dengan Malaysia yang awalnya dipersatukan setelah kedua negara lepas dari kekuasaan kolonial Inggris pada 16 September 1963. 

Pada awalnya, kedua negara berkeyakinan bahwa bergabungnya mereka akan membawa kejayaan. Tanpa sumber daya alam, Singapura melihat bahwa menggabungkan diri dengan Malaysia adalah langkah yang tepat. Sementara Malaysia menilai penggabungan itu dapat menghindarkan mereka dari ancaman komunisme. Meski begitu, kedua belah pihak menyadari adanya perbedaan keseimbangan etnis: Malaysia didominasi etnis Melayu, sedangkan etnis Cina menjadi mayoritas di Singapura. Pada awalnya, perbedaan itu tidak dianggap sebagai masalah. 

Sayangnya, anggapan itu salah. Perbedaan ideologi menyebabkan pecahnya konflik politik. PAP (People Action Party) yang berkuasa di Singapura memandang bahwa kesetaraan berlaku bagi semua etnis. Sebaliknya, Malaysia lebih mengutamakan kepentingan etnis Melayu. Sejumlah hak istimewa pun diberikan dalam pelayanan publik, pendidikan, dan perdagangan.

Perbedaan-perbedaan di antara keduanya semakin meruncing. Hingga akhirnya pada Juli 1964, terjadi rangkaian kerusuhan etnis dengan sejumlah korban jiwa di Singapura. Kaum ekstremis dituduh sebagai penyebabnya. Meski sempat reda, tetapi parlemen Malaysia memutuskan untuk “mendepak” Singapura. PM Malaysia, Tunku Abdul Rahman meyakini bahwa perpisahan adalah jalan terbaik, tanpa harus menimbulkan pertumpahan darah. 

Singapura tak punya pilihan, selain memulai hidup mandiri. Pada 9 Agustus 1965, Singapura resmi berdaulat dan menjadi satu-satunya negara yang merdeka bukan karena keinginan sendiri. 

Wajah Singapura di Masa Kini

Kini, si anak terbuang yang sebelumnya dianggap merepotkan, sekaligus dipandang tak mampu memberikan sumbangsih karena tak memiliki sumber daya alam, justru tampil sebagai salah satu negara termakmur di dunia. Di Asia Tenggara, Singapura merupakan negara dengan PDB per kapita terbesar, dan dipandang sebagai barometer pertumbuhan di kawasan ASEAN karena perdagangan internasionalnya yang jauh melampaui ekonomi domestiknya.

Selain itu, Singapura pun menjadi salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Bagi Singapura, pendidikan adalah modal bagi kemajuan perekonomiannya. Terbukti, meski kecil dan tak memiliki SDA, tetapi Singapura mampu bersaing dalam persaingan global. Kurikulum pendidikan di negeri ini fokus pada pemecahan masalah dan keahlian-keahlian khusus yang tidak diajarkan di universitas negara-negara lain.

Databoks memuat data dari laporan riset Global Power City Index 2021, yang dirilis Institute for Urban Strategies, The Mori Memorial Foundation (MMF). Dalam laporan tersebut, MMF mengukur “daya tarik” kota-kota besar di dunia dari berbagai aspek, seperti perekonomian, budaya hingga kualitas hidup masyarakatnya. Dalam laporan tersebut, Singapura berada di urutan keempat dari lima negara yang disebutkan dalam laporan itu.

Mengapa Singapura menjadi begitu menarik? Seorang warga Indonesia, Via, penulis yang tinggal di Singapura, mengatakan bahwa kenyamanan adalah yang utama. Selain itu adalah terjaminnya mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan, walaupun biaya hidup di Negeri Singa termasuk yang termahal ketiga di dunia (setelah Tel Aviv dan Paris).

Untuk biaya makan saja, keluarga Via yang berjumlah lima orang bisa menghabiskan minimal 15-20 juta rupiah per bulan. Meski begitu, tetap banyak warga asing yang kemudian memilih menjadi warga negara Singapura, karena mendapat subsidi untuk biaya pendidikan dan kepemilikan rumah.

Nah, jika dikaitkan dengan isu SARA di atas, Via memaparkan bahwa selama tinggal di Singapura, dia yang Melayu dan muslim tidak merasakan adanya perlakuan diskriminatif, baik dari pemerintah Singapura atau pun dari warga mayoritas. Warga etnis Cina di negeri ini sangat menghargai warga minoritas, tanpa kecuali. 

Selain itu, Via juga mengatakan bahwa soal makanan non-halal, Singapura justru lebih transparan.

Komitmen Singapura atas Toleransi

Pemerintah Singapura tetap konsisten dengan sikap politik mereka sejak awal negara itu berdiri, bahwa pemerintah akan berlaku adil bagi semua etnis dan golongan. Termasuk soal perayaan keagamaan. Semua hari besar agama diberi jatah libur yang sama, satu hari. Tak ada kebijakan mengistimewakan satu agama lebih dari yang lain. Semuanya sama.

Sikap toleransi pun ditanamkan sejak dari bangku sekolah. Di saat perayaan Idulfitri, murid yang beragama lain akan ikut merayakan dengan mengenakan baju kurung yang biasa dikenakan etnis Melayu. Begitu pula ketika perayaan Imlek tiba, murid selain etnis Cina akan ikut mengenakan congsam dan kebagian jeruk atau mooncake. 

Selain itu, Singapura pun memiliki Harmony Racial Day yang dirayakan tiap tanggal 21 Juli. Hari spesial ini dibuat sebagai pengingat bagi semua untuk memahami berbagai ras dan agama yang ada di Singapura.

Jadi jelas, Pemerintah Singapura berusaha keras menjaga sikap toleransi antar warga. Pengalaman kerusuhan antar etnis yang terjadi di masa lalu menjadi pelajaran mahal bagi mereka. 

Melalui halaman resminya, PM Lee Hsien Loong membahas persoalan pluralisme dan toleransi:

“Di Singapura, sebenarnya kita beruntung karena semua kaum dan kumpulan agama, satu suara mendukung usaha untuk memberantas kekerasan. Mereka bekerja sama untuk memperkokoh keyakinan antara agama. Pemimpin Melayu/Islam secara terang-terangan menolak keras paham kekerasan.”

Kesimpulannya, Pemerintah Singapura memastikan bahwa semua warga terwakili, tanpa kecuali.

Siaw Yen, ibu rumah tangga yang suka membaca dan menulis.

[red/rien-bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *